
Asep Agustian.
KARAWANG-Gagal kontraknya pembangunan Gedung Maternitas RSUD Karawang dengan pagu anggaran Rp18 miliar yang bersumber daru dana hibah Provinsi Jawa Barat berbuntut dituntutnya mundur Dirut RSUD Karawang, Sri Sugihartati.
“Yang membuat saya tidak habis pikir, pejabat model begini kok bisa lolos fit and proper test jadi Dirut. Kalau begini saya jadi ragu dengan kompetensinya. Mending sekalian copot saja dari jabatan dirutnya, masih banyak kok pejabat yang kompeten,” kata pengamat pemerintahan yang juga advokat flamboyant Karawang, Asep Agustian, kepada Prasastijabar.com, Selasa (29/10/2019).
Yang lebih menyesalkan lagi, kata pria yang akrab disapa Kang Asep Kuncir (Askun) ini, pernyataan sembrono yang dilontarkan Sri ketika insan media mempertanyakan penyebab gagalnya dibangun Gedung Maternitas.
Baca juga : Tingkatkan Kualitas, BKPSDM Karawang Bakal Terapkan Diklat Terakreditasi
“Eh setelah adanya rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPRD Karawang, ada pernyataan Dirut RSUD Karawang yang kontradiktif. Segala ngomong Karawang sudah kurang begitu membutuhkan Gedung Maternitas,” ujarnya.
“Kok jawabannya seperti anak SD saja. Yang namanya anggaran ketika sudah di gulirkan, biasanya pihak penerima sudah mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk kesiapan waktu untuk merealisasi serapan anggaran. Kalau sudah seperti ini kan jadi raib anggaran dari Pemprov Jabar,” timpalnya.
Menurut Kang Askun, pernyataan seperti itu upaya untuk menutupi kelemahannya yang tidak dapat memanfaatkan bantuan dana hibah dari Pemprov Jabar.
“Kalau sudah begini, belum tentu uang sebesar itu, bisa dialokasikan kembali untuk Karawang,” tukasnya.
Baca juga : Ketum KOIN, Ade : Menjadi Instaler Perlu Skill Tinggi
Terlepas dari itu semua, lanjutnya, yang perlu dipastikan adalah soal Satuan Kerja (Satker) yang menerima dana hibah tersebut, RSUD langsung atau melalui Dinas Kesehatan.
“Karena RSUD Karawang merupakan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) yang sudah mandiri, dimana Dirut RSUD bertanggung jawab langsung kepada Bupati,” ujarnya.
Masih menurutnya, ada dua pihak yang paling berperan dalam gagal kontrak, yakni Pejabat Pembuat Komitemen (PPK) dan Pengguna Anggaran (PA). Tetapi, PA adalah pihak yg paling bertanggung jawab, bilamana ada permasalahan antara Kelompok Kerja (Pokja) dan PPK yang berakibat PPK tidak menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ). Keputusan final ada di PA. Itu tertuang dalam Pasal 17 Ayat 2 Perpres 54 Tahun 2010 beserta perubahannya.
“Pokja setelah selesai melaksanakan lelang, kemudian membuat berita acara hasil lelang dan menyerahkan kepada PPK dan Kepala Pokja, PPK dapat menolak hasil lelang karena alasan yang penting dan krusial,” imbuhnya.
“Nah, ini paska digulirkannya anggaran dari Pemprov Jabar. Apakah PA tidak mengukur persoalan waktu terlebih dahulu dan kenapa tidak mereview DED, kalau memang alasan batalnya kontrak karena faktor keterbatasan waktu serta masih menggunakan DED Tahun 2015,” sambungnya.
Seharusnya, Dirut selaku PA mempertimbangkan aspek-aspek tersebut, begitu di gulirkannya anggaran. Bukan malah langsung tunjuk PPK dan langsung laksanakan lelang.
“Sehingga akhirnya muncul dugaan-dugaan dan spekulasi tertentu. Coba tuh lihat medsosyang pada akhirnya banyak pihak menduga kuat pembatalan kontrak dikarenakan pengusaha yang dekat dengan Bupati kalah. Iya kalau benar, kalau tidak benar kan kasihan Bupati,” tutupnya. (red).