
Proses pembuatan gula aren yang dilakukan secara tradisional oleh pria asal Purwakarta
PURWAKARTA-Seiring berjalannya waktu dan perkembangan jaman, keberadaan gula aren sulit ditemui di pasaran bahkan keberadaannya tak banyak orang yang tahu. Gula aren seolah hampir punah dan terlupakan akibat tersisih oleh berbagai jenis gula hasil pabrikan modern yang harganya pun lebih terjangkau masyarakat.
Namun siapa sangka, dibalik semua itu, Ujang Aeful (47) warga Kampung Hegarmanah Desa Pasirmunjul Kecamatan Sukatani Kabupaten Purwakarta, masih bertahan mengembangkan produksi gula aren hingga kini dan sudah dilakukan keluarganya secara turun temurun.
“Saya membuat gula aren (gula kawung- sunda) sejak kecil. Awalnya belajar dari orangtua kemudian memulai produksi sendiri sampai sekarang,” kata Ujang disela kesibukannya membuat gula aren, Sabtu (11/7/2020).
Untuk bahan baku, ditambahkan Ujang, didapatnya dari sekitaran hutan dan perkebunan yang di sekitran kampungnya. Di perkebunan itu, masih terdapat sejumlah pohon aren yang biasa dimanfaatkan warga untuk menunjang hidupnya.
“Alhamdulilah, disekitaran sini masih ada pohon aren, selain dijadikan gula, oleh warga lain, buahnya diolah menjadi kolang kaling, lumayan lah hasilnya buat nyambung-nyambung hidup,” paparnya.
Sementara, tutur Ujang, pembuatan gula aren sendiri diawali dengan menyadap air dari pohon aren atau hasil sadapan itu disebut nira.
Nira hasil sadapan dari pohon aren kemudian direbus selama empat hingga lima jam tergantung banyaknya nira yang dimasak di atas tungku perapian.
Jika air nira sudah berubah warna ke merah-merahan, kemudian diambil sedikit lalu dimasukan ke dalam air untuk memastikan tingkat kematangan.
“Kalau sudah matang kemudian dituangkan ke dalam cetakan yang terbuat dari bambu. Lalu jika sudah kering, air nira yang sudah menjadi gula aren itu kemudian dibungkus menggunakan daun pisang kering dan diikat, gula arenpun siap dipasarkan. Satu bungkus gula aren saya jual Rp10.000,” terangnya.
Dalam sehari, ia mengaku hanya mampu memproduksi air nira dijadikan gula aren paling banyak 120 liter. 24 liter nira hanya dapat menghasilkan empat buah gula aren.
“Hasil setiap harinya tidak bisa ditentukan, tergantung banyaknya nira yang dihasilkan, karena setiap pohon aren berbeda-beda, dan untuk 24 liter nira hanya dapat menghasilkan empat buah gula aren saja,” ucapnya.
Dalam proses pembuatan gula aren, bukan berarti Ujang tak menemui kendala. Dia mengaku sering terkendala dalam hal pemasaran dan sulitnya kayu bakar.
“Masalah penjualannya itu sulit karena gak ada pemasarannya, ditambah lagi kalau kayu bakar di kembun sendiri habis terpaksa harus beli,” keluhnya.
Untuk itu, Ia sangat berharap pada peran serta aparat desa atau pemerintah daerah untuk dapat memperhatikan para pembuat gula aren agar tetap bertahan.
“Intinya sih pemasaran yang harus dibantu itu,” pintanya.
Sementara itu, Kepala Desa Pasir Munjul, Muhamad Hilman Nurzaman menanggapi terkait keluhan dari pembuat gula aren terutama masalah pemasarannya.
Menurut Hilman, pihak desa telah berupaya berkoordinasi dengan balai latihan kerja (BLK) untuk menyambungkannya agar gula aren ini menjadi ikon yang bisa muncul di wilayah Pasirmunjul.
“Kami mencoba bekerjasama melalui BUMDes terkait gula aren untuk dan kedepannya gula aren dapat diperjualbelikan ke lintas daerah bukan hanya di Purwakarta,” singkat Hilman.(wes/zak)