NASIONAL-Sabtu 23 tahun lalu, 27 Juli 1996, suasana Jakarta mencekam. Kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) diambil alih paksa lewat pertumpahan darah. Peristiwa yang dikenal sebagai Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli) ini adalah salah satu peristiwa terkelam dalam sejarah demokrasi Indonesia. Menyisakan misteri sekaligus membentuk Megawati Soekarnoputri yang dikenal seperti sekarang
Pasca-insiden itu, Mega menyerukan pendukungnya untuk tenang sembari menunggu hasil gugatannya terhadap pemerintah dan Soerjadi di pengadilan. Mega akhirnya kalah dalam gugatan itu. Kekalahan Mega justru menguatkan posisinya dalam kontestasi politik. PDI Perjuangan yang dibentuknya menang pemilu dan ia menjadi wakil presiden bagi Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Di era pemerintahan Gus Dur, penyelidikan Kudatuli kembali dibuka. Saat itu, tekanan publik terutama dari keluarga korban sangat kuat. Ini ditambah sikap politik baru polisi terhadap militer pasca-pemisahan TNI-Polri. Penyelidikan Peristiwa 27 Juli yang mengarah ke sejumlah petinggi militer secara tak langsung akan memperlancar proses pemisahan.
Gus Dur memperhatikan betul penyelesaian 27 Juli. Begitu pula isyarat kuat dari Megawati kala itu. Namun, penyelidikan tidak berjalan lancar. Para penyidik diteror untuk tidak melanjutkan. Teror diduga datang dari Angkatan Darat. Masalah teknis pembuktian yang rumit membuat penyelidikan 27 Juli 1996 sangat lambat.
Soerjadi (Ketum PDI hasil kongres Medan-red) dan sejumlah orang lainnya sempat dijadikan tersangka dan ditahan, tetapi kasusnya menggantung tak kunjung dilempar ke kejaksaan. Pun setelah menjadi presiden pada 2001, Megawati tetap diam. Disinyalir ada pertentangan kepentingan yang dihadapi Mega menyangkut insiden 27 Juli 1996.
Menurut Peter Kasenda (Peristiwa 27 Juli 1996: Titik Balik Perlawanan Rakyat, 2018) Megawati dihadapkan pada kebutuhan untuk memelihara demokrasi dan stabilitas pemerintahan yang sedang dibangunnya. Dukungan PDI-P di DPR tidak mayoritas dan kekuasaannya belum sepenuhnya terkonsolidasi. Megawati membutuhkan dukungan dari militer. Di sisi lain, ia dituntut korban dan keluarga korban peristiwa Kudatuli untuk mengusut peristiwa yang terjadi.
Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) yang menjadi pengacara korban beberapa kali menanyakan komitmen Megawati dalam mengungkap kasus 27 Juli 2996. Dalam pertemuan dengan TPDI, Megawati menyadari dirinya mempunyai tanggung jawab moral terhadap korban.
Namun, ia masih membutuhkan waktu untuk mengetahui tingkat resistensi militer. Ia juga mengatakan kepada TPDI bahwa penyelesaian Kudatuli tidak perlu melibatkan semua tentara. Cukup satu orang yang diadili, yakni Pangab Jenderal (Purn) Feisal Tanjung. Namun, pihak TNI keberatan atas permintaan Mega. Pasalnya jika Feisal yang diminta pertanggungjawaban, itu sama saja dengan menggugat kebijakan TNI secara kesluruhan. Resistensi ini akhirnya membuat Mega diam dan memilih “menjaga” hubungan baik dengan militer.
Sutiyoso, Pangdam Jaya kala itu yang sempat jadi tersangka, belakangan malah moncer kariernya sebagai Gubernur DKI dua periode. Pengadilan Koneksitas yang digelar di era Mega hanya mampu membuktikan seorang buruh bernama Jonathan Marpaung yang terbukti mengerahkan massa dan melempar batu ke Kantor PDI. Ia dihukum dua bulan sepuluh hari.
Sementara dua perwira militer yang disidang, Kol CZI Budi Purnama (mantan Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya) dan Letnan Satu (Inf) Suharto (mantan Komandan Kompi C Detasemen Intel Kodam Jaya) divonis bebas.
Pun hingga kini, saat Megawati berhasil menjadi ketua umum parpol terlama dalam sejarah dan mencetak Jokowi menjadi presiden dua kali, ia tetap membisu soal peristiwa 27 Juli. Dalang peristiwa itu tak terungkap dan belum diadili hingga kini. (red).
Sumber : kompas.com