20 Tahun Tanah Warga Dipakai untuk Membangun Jembatan, Selama itu Pula Pemkab Abai Membayar Lahan

KARAWANG – Jembatan penghubung Kabupaten Karawang dengan Kabupaten Bekasi di hilir Sungai Citarum sudah 20 tahun berdiri. Bahkan jembatan yang berada di Dusun Krajan, Desa Batujaya, Kecamatan Batujaya, Kabupaten Karawang itu kini menjadi sarana transportasi vital bagi warga sekitar.

Sebelumnya, warga harus berputar puluhan kilometer jika ingin menyebrangi Citarum menuju ke Kecamatan Pabayuran, Kabupaten Bekasi. Kini ke titik yang sama bisa ditempuh dalam jarak beberapa kilometer saja.

Roda perekonomian pun berputar pesat. Penduduk antar wilayah bisa saling menjual barang dengan mudah.

Bahkan, pada momentum mudik seperti saat ini, jembatan Citarum di Batujaya itu kerap menjadi jalur alternatif pemudik dari Jakarta dan Bekasi ketika jalan arteri terjadi kemacetan. Mereka pun bisa memotong jarak dan menghemat biaya perjalanan mudiknya.

Namun, siapa sangka di balik hidupnya transportasi masyarakat itu, ada cerita pilu yang dialami warga pemilik lahan yang kini digunakan untuk mendirikan jembatan tersebut. Selama puluhan tahun tanahnya dipakai untuk jalan menuju jembatan, tetapi tak dibayar oleh pemerintah.

Salah seorang warga pemilik lahan itu bernama Imron (53), warga Batujaya. Dua puluh tahun lalu, dia bersama orang tuanya di panggil ke kantor desa diberi tahu bahwa lahannya miliknya akan dipakai untuk akses menuju jembatan.

Sebagai orang desa yang polos, Imron tak banyak cakap dan menyetujui rencana pemerintah itu, apalagi untuk kepentingan umum. Namun sikap bijaknya tak dihargai pemerintah dalam hal ini Pemkab Karawang.

“Tahun 2005, kami dipanggil ke kantor desa. Ada uang DP kompensasi pembayaran tanah seluas 350 meter yang kami terima. Tapi sisanya hingga kini tak kunjung dibayarkan,” kata Imron, Rabu (19/3/2025).

Saat itu, sambung dia, harga yang telah disepakati adalah Rp 80 ribu per meter. Harga tersebut belum termasuk ganti rugi bangunan dan tanaman warga.

“Selama 20 tahun ini kami menunggu pembayaran lahan yang dijadikan akses jalan utama oleh pemerintah. Namun penantian kami sia-sia,” katanya.

Di sisi lain, lanjut Imron, dia tetap setia membayar pajak tanah tersebut (PBB-Red) karena kepemilikan lahan itu memang masih atas namanya. Padahal lahan dan bangunan itu sudah lama digusur oleh pemerintah dan tidak bisa dimanfaatkan olehnya.

Imron menyebut pihak pemerintah hanya mengumbar janji, tanpa ada kepastian pembayaran lahan dan bangunan miliknya. Sementara harga lahan di lokasi itu terus merangkak naik.

“Pada tahun 2010 lalu, harga tanah di lokasi itu sudah tembus Rp2 juta per meternya. Bisa dibayangkan berapa harga tanah di lokasi yang sama saat ini,” katanya.

Hal serupa dialami pemilik lahan lainnya Heni. Dia mengaku harus merelakan rumahnya digusur untuk pembangunan jalan. Dia juga masih setia membayar PBB, padahal tanahnya sudah tak pernah dimanfaatkan olehnya.

“Rumahnya sudah ke mana, tapi tak dibayar pemerintah,” katany

Cerita yang sama dikatakan Marwan (53). Dia beserta keluarga harus pindah ke tempat lain, setelah lahannya seluas 500 meter persegi digunakan untuk jalan menuju jembatan.

Nasib Marwan sama dengan Imron dan Heni. Lahannya yang dimanfaatkan untuk kepentingan umum tak juga dibayar oleh Pemkab Karawang.

“Kami ini rakyat kecil, orang kampung. Apa yang bisa kami lakukan? Orang tua saya hanya menerima DP, dan sampai sekarang tidak ada kejelasan sama sekali terkait sisa pembayarannya,” ucap dia.

Para korban janji manis pemerintah itu, kini berharap permasalahan tersebut kini menjadi perhatian Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, Bupati Karawang Aep Syaepuloh. Apalagi jembatan penghubung Batujaya dengan Pebayuran itu kin sudah menjadi kebanggaan banyak pihak.

“Kami memohon Pak Dedi Mulyadi dan Pak Haji Aep bisa memberikan solusi agar lahan kami dibayar lunas,” kata Marwan.(red) 

Baca juga

Leave a Comment